Langsung ke konten utama

Tersenyum

Di atas sebatang kayu mahkota nenek moyang ku
di dasar batu-batu yang terukir peradaban
di dalam belaian dahan-dahan yang menjadi saksi antara aku dan engkau

Ku lukis keresahan ku di atas langit malam tanpa bintang
tatapan bulan tanpa pernah berkedip
serta ilalang yang tak pernah mengeluh maupun terus di hempas angin

Aku kabarkan kembali kepadaku
kepada jiwa yang hampir mati
kepada rasa yang tak lagi mampu meraba
kepada nafas yang tak lagi mampu di rasa
kepada jantung yang tak lagi mampu bernada

Aku ungkapkan kekesalanku di atas padang yang gersang
kepada keindahan yang tak nyata
kepada senyum yang pandai bersandiwara
kepada hidup tanpa cinta




@setajam_pena, puncak manjay 13 oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

  Siul enggang Waja sampai kaputing ucapmu: dalam dekapan malam di topang kilatan cahaya bersayapkan ranting dan daun berwajah adat dan budaya Hidup dalam kehidupan berkedip untuk menghidupkan Jika pohon dan ranting jatuh di hempas angin daun tak lagi hijau, kumbang memilih mati dan burung yang terbang tak kembali pulang angka-angka berserakan Tempat menghadap Tuhan akan sepi bayi tak lagi mampu menghadap matahari tawa bersembunyi dalam lengkingan sunyi tubuh bergelempangan berenang dengan darah, di sudut jalan tanpa kafan Yaa apang yaa umang salammu kepada gagak suaramu di dalam selusup kayu pepatahmu mematah asa dimana kau berpijak di situ langit kau junjung Amarahmu di dalam kening bumi senyummu di dalam dekapan cakrawala tangismu bersembunyi di dalam tangisku diammu bersemayam bersama setiap nafasku Yaa apang ya umang acungkan sebilah mandau dalam laju punggung angin amarahku adalah amarahmu lukaku...
Jum'at kelabu Malam yang menyala tanah-tanah murka menumbuhkan anarki bising balai perundingan sorak-sorai menjadi tangis bagi murai yang tersesat dalam sarangnya sendiri Mereka melangkah dengan sejuta dendam melukis luka, meluapkan amarah tanpa sadar yang mereka bakar adalah batang tubuh yang nantinya akan menjadi air mata dalam surat kabar usang di emperan jalan Dalam tidurpun anak-anak hingga balita takut untuk bermimpi padi-padi dari harapan petani menjadi bayang-bayang kesedihan dalam sudut manapun kita sudah menjadi rumpun-rumpun jerami yang rapuh Malam ku menjelma menjadi duka tatkala senja menjadi merah menyala memuntahkan asap-asap dan jerit ibu dengan gaun robek yang berusaha keluar dari dapur pertapaan Menang mu menjadi abu               Kalah mu menjadi abu                          Benar mu menjadi abu     ...
Tarian kematian Di punggung bumi   belulang moyang kami berkubur: Adalah tempat ku berkaca Menjawab pertanyaan si enggang Dengan bangkai-bangkai dunia Yang mati meneguk wisa ke pembuluh raga Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: Adalah tangis wajah ibu bumi Menahan perih akibat luka Dan darah   mengalir diantara tanah-tanah yang rekah Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: Aku mandikan sebilah Mandau Dengan darah Bersama mantra dan doa Untuk menjawab pertanyaan mu Duhai mereka yang akan menjadi bangkai berikut nya Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: Tempat mu berjumpa dengan kematian Darah mu akan tumpah mengalir di antara akar-akar pepohonan Tubuh mu akan menanting mangkuk berisikan darah dan air mata Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: “Wanang aliku darah dika Wanang aliku sumangat dika” Oooo “Ku ilayakan sabilah Mandau sakilan tumatan gulu andika Ku susup dara...