Langsung ke konten utama


Dua sudut pandang

kisah lucu di dalam negeri ku:
dimana pemain sirkus menjadi pemimpin
kantor-kantor mewah jadi kandang para maling
apalah ragam yg tertinggal
kalau bukan budaya saling tuding

inilah kisah kayanya negri ku:
pulau yang mengapung di genangan samudra
bercorak dalam ragam suku dan agama
bersayap toleransi berbahasa
berwajah indah adat dan budaya

O,uang tunjukan aku dimana keadilan
itulah budaya kita sekarang
kebenaran bisa di beli dengan uang
orang-orang bodoh pada gila dengan jabatan
hak asasi manusia menjadi mainan
korupsi di jadikan kebudayaan

jika air masih mengalir dari hulu:
suara camar masih elok terdengar
dari sabang sampai merauke masih tergenggam
sang garuda tak lupa pijakan kaki untuk pulang
budaya kita tak akan lekang oleh jaman


sang garuda kini telah terbang tinggi menembus langit
hingga dia lupa dengan pijakan kaki untuk pulang
perbedaan kelas menjadi sesuatu hal yang tabu untuk membumbu
dari sabang sampai merauke kini terpecah karna perbedaan
tak lekang di jaman tapi lapuk di hujan

O,sang penerus jaman bersatu lah
lupakan perbedaan kita rangkul kebudayaan
lautan bukan ancaman untuk kita bergandengan
sebab punggung angin masih sudi jadi tunggangan

penerus jaman telah mati:
sebab mereka lebih memilih adu politik
dan lempar kursi
tauran di jadikan makanan sehari-hari
kebudayaan barat menjadi ajang bergengsi
bandit tetangga siap-siap untuk mencuri

maka bangkitlah dalam kegelapan:
ukir kembali kebudayaan dalam bingkai kekayaan
selusupkan tekatmu dalam tubuh ibu bumi
acungkan telunjukmu dalam luas nya cakrawala

tak ada sahutan:
di kala gerombolan burung pipit
lebih pandai menjawab soal yang belum sempat di tanyakan
kebudayaan yang terukir hilang, tergilas ruang globalisasi terkini
kebebasan menjadi ruang pembungkaman
sang garuda terlalu terburu-buru melebarkan sayap nya
pijakan kaki yang patah
mematah kata " bhineka tunggal ika"


@setajam_pena (banjarmasin 28 juni 2019)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tersenyum Di atas sebatang kayu mahkota nenek moyang ku di dasar batu-batu yang terukir peradaban di dalam belaian dahan-dahan yang menjadi saksi antara aku dan engkau Ku lukis keresahan ku di atas langit malam tanpa bintang tatapan bulan tanpa pernah berkedip serta ilalang yang tak pernah mengeluh maupun terus di hempas angin Aku kabarkan kembali kepadaku kepada jiwa yang hampir mati kepada rasa yang tak lagi mampu meraba kepada nafas yang tak lagi mampu di rasa kepada jantung yang tak lagi mampu bernada Aku ungkapkan kekesalanku di atas padang yang gersang kepada keindahan yang tak nyata kepada senyum yang pandai bersandiwara kepada hidup tanpa cinta @setajam_pena, puncak manjay 13 oktober 2019
Sumpah Dalam Balada Di ujung tempat pertapaan ku dimana air itu mengalir membersihkan setiap peluh dan lumut pada tubuh menceritakan setiap balada moyangku Di atas tanah saat padi-padi mulai menguning tumbuhlah hikayat dengan tombaknya masih menancap di atas batu mengingatkan setiap warisan yang tersimpan diatas tanah asal ku Jika tempat tanah moyangku mengalirkan air mata pohon dan ranting memuntahkan darah enggang yang mati menjadi tangis bagi laung melingkar di kepala Maka ku tumpahkan setiap mantra dari air ke tanah, langit ke bumi, damak ke tombak hingga hiruplah setiap wisa yang mengalir kedarah mu Jika bumi yang kau pijak selalu kau ludahi air yang mengalir sengaja kau racuni wajah dari moyang ku sengaja kau sayat membekas setiap luka dirasakan pedihnya oleh anak-anak diujung desa Maka haram bagi ku membiarkan sebilah mandau masih melingkar di higa pinggang! setajam_pena Batulicin 2019
  Siul enggang Waja sampai kaputing ucapmu: dalam dekapan malam di topang kilatan cahaya bersayapkan ranting dan daun berwajah adat dan budaya Hidup dalam kehidupan berkedip untuk menghidupkan Jika pohon dan ranting jatuh di hempas angin daun tak lagi hijau, kumbang memilih mati dan burung yang terbang tak kembali pulang angka-angka berserakan Tempat menghadap Tuhan akan sepi bayi tak lagi mampu menghadap matahari tawa bersembunyi dalam lengkingan sunyi tubuh bergelempangan berenang dengan darah, di sudut jalan tanpa kafan Yaa apang yaa umang salammu kepada gagak suaramu di dalam selusup kayu pepatahmu mematah asa dimana kau berpijak di situ langit kau junjung Amarahmu di dalam kening bumi senyummu di dalam dekapan cakrawala tangismu bersembunyi di dalam tangisku diammu bersemayam bersama setiap nafasku Yaa apang ya umang acungkan sebilah mandau dalam laju punggung angin amarahku adalah amarahmu lukaku...