Langsung ke konten utama

Nasib Dehen
 
Dehen sewaktu subuh
tepat saat kumpulan burung meletak kan nyawa dinafas kota
melepas rindu, menanam harapan hingga di siraminya dengan air mata
sepucuk cinta kini telah layu redup hirap tertelan kesedihan

Adik kecil dari biji yang di tanam Dehen sewaktu malam di bawah rembulan dengan lampu kunang-kunang
hingga kuncup nafas nya menyesak setiap dahak tidak lagi semerbak bau sayang
Dehen mencoba tersenyum terus merawatnya
hingga jumpa petang suara enggang di tengah kota

Dehen menadah tangan menanting harapan agar turun hujan
melukis doa dengan adukan beribu luka
sedang racun itu mengalir
pupuslah harapan cinta yang di tanam sepasang rusa telah menumbuhkan luka

Oh
dipandanglah saat ajar tiba
dimana burung-burung terbang dengan sayap yang terbakar
kepulan asap mematahkan mimpi para merpati
untuk bisa terbang menembus langit
hingga ribuat batang menangis memecah diudara sebelum jadi abu lenyap tak tersisa

Hingga kala itu
sejuta harapan titah leluhur menjadi fatwa
belulang nenek moyang menjadi warisan untuk di jaga
tumbuhlah satu biji terakhir ditubuh Dehen hingga membuatnya abadi
 
SEMPURNA



@setajam_pena, Banjarmasin 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jum'at kelabu Malam yang menyala tanah-tanah murka menumbuhkan anarki bising balai perundingan sorak-sorai menjadi tangis bagi murai yang tersesat dalam sarangnya sendiri Mereka melangkah dengan sejuta dendam melukis luka, meluapkan amarah tanpa sadar yang mereka bakar adalah batang tubuh yang nantinya akan menjadi air mata dalam surat kabar usang di emperan jalan Dalam tidurpun anak-anak hingga balita takut untuk bermimpi padi-padi dari harapan petani menjadi bayang-bayang kesedihan dalam sudut manapun kita sudah menjadi rumpun-rumpun jerami yang rapuh Malam ku menjelma menjadi duka tatkala senja menjadi merah menyala memuntahkan asap-asap dan jerit ibu dengan gaun robek yang berusaha keluar dari dapur pertapaan Menang mu menjadi abu               Kalah mu menjadi abu                          Benar mu menjadi abu     ...
Tersenyum Di atas sebatang kayu mahkota nenek moyang ku di dasar batu-batu yang terukir peradaban di dalam belaian dahan-dahan yang menjadi saksi antara aku dan engkau Ku lukis keresahan ku di atas langit malam tanpa bintang tatapan bulan tanpa pernah berkedip serta ilalang yang tak pernah mengeluh maupun terus di hempas angin Aku kabarkan kembali kepadaku kepada jiwa yang hampir mati kepada rasa yang tak lagi mampu meraba kepada nafas yang tak lagi mampu di rasa kepada jantung yang tak lagi mampu bernada Aku ungkapkan kekesalanku di atas padang yang gersang kepada keindahan yang tak nyata kepada senyum yang pandai bersandiwara kepada hidup tanpa cinta @setajam_pena, puncak manjay 13 oktober 2019
  Siul enggang Waja sampai kaputing ucapmu: dalam dekapan malam di topang kilatan cahaya bersayapkan ranting dan daun berwajah adat dan budaya Hidup dalam kehidupan berkedip untuk menghidupkan Jika pohon dan ranting jatuh di hempas angin daun tak lagi hijau, kumbang memilih mati dan burung yang terbang tak kembali pulang angka-angka berserakan Tempat menghadap Tuhan akan sepi bayi tak lagi mampu menghadap matahari tawa bersembunyi dalam lengkingan sunyi tubuh bergelempangan berenang dengan darah, di sudut jalan tanpa kafan Yaa apang yaa umang salammu kepada gagak suaramu di dalam selusup kayu pepatahmu mematah asa dimana kau berpijak di situ langit kau junjung Amarahmu di dalam kening bumi senyummu di dalam dekapan cakrawala tangismu bersembunyi di dalam tangisku diammu bersemayam bersama setiap nafasku Yaa apang ya umang acungkan sebilah mandau dalam laju punggung angin amarahku adalah amarahmu lukaku...