Langsung ke konten utama

Celoteh Sukardi

Kini jalan panjang sudah berhasil membelah gunung
istana yang menjulang kokoh menancap di atas bukit ratusan hektar hutan dan sawah dengan enteng di sulap menjadi perkebunan sawit dan karet

Ikan-ikan dulu sangat jelas terlihat 
kini musnah, air yang jernih tertindih dengan limbah-limbah merkuri

Petani-petani mengangkat topi
memikirkan makan
anak-anak perlu biaya sekolah, pupus harapan nya jadi sarjana
akibat padi yang di tanam ayah terjual sangat murah

Ayam dan bebek kini menjadi korban
berkurang jatah makan beras dengan kualitas sangat jelek tidak ada lagi di samping kandang
karna mereka harus berbagi makan bersama Udin dan adik-adiknya

Rumput dan ilalang yang semakin langka
membuat sapi, kerbau juga kambing harus sering berpuasa
peternak pusing tujuh keliling memikirkan besok harus ngarit kemana

Hingga pakde Sukardi berkata dengan baju lusuhnya:
bosan jadi manusia ingin jadi lumut saja!





setajam_pena, Banjarmasin 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

  Siul enggang Waja sampai kaputing ucapmu: dalam dekapan malam di topang kilatan cahaya bersayapkan ranting dan daun berwajah adat dan budaya Hidup dalam kehidupan berkedip untuk menghidupkan Jika pohon dan ranting jatuh di hempas angin daun tak lagi hijau, kumbang memilih mati dan burung yang terbang tak kembali pulang angka-angka berserakan Tempat menghadap Tuhan akan sepi bayi tak lagi mampu menghadap matahari tawa bersembunyi dalam lengkingan sunyi tubuh bergelempangan berenang dengan darah, di sudut jalan tanpa kafan Yaa apang yaa umang salammu kepada gagak suaramu di dalam selusup kayu pepatahmu mematah asa dimana kau berpijak di situ langit kau junjung Amarahmu di dalam kening bumi senyummu di dalam dekapan cakrawala tangismu bersembunyi di dalam tangisku diammu bersemayam bersama setiap nafasku Yaa apang ya umang acungkan sebilah mandau dalam laju punggung angin amarahku adalah amarahmu lukaku...
Jum'at kelabu Malam yang menyala tanah-tanah murka menumbuhkan anarki bising balai perundingan sorak-sorai menjadi tangis bagi murai yang tersesat dalam sarangnya sendiri Mereka melangkah dengan sejuta dendam melukis luka, meluapkan amarah tanpa sadar yang mereka bakar adalah batang tubuh yang nantinya akan menjadi air mata dalam surat kabar usang di emperan jalan Dalam tidurpun anak-anak hingga balita takut untuk bermimpi padi-padi dari harapan petani menjadi bayang-bayang kesedihan dalam sudut manapun kita sudah menjadi rumpun-rumpun jerami yang rapuh Malam ku menjelma menjadi duka tatkala senja menjadi merah menyala memuntahkan asap-asap dan jerit ibu dengan gaun robek yang berusaha keluar dari dapur pertapaan Menang mu menjadi abu               Kalah mu menjadi abu                          Benar mu menjadi abu     ...
Tarian kematian Di punggung bumi   belulang moyang kami berkubur: Adalah tempat ku berkaca Menjawab pertanyaan si enggang Dengan bangkai-bangkai dunia Yang mati meneguk wisa ke pembuluh raga Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: Adalah tangis wajah ibu bumi Menahan perih akibat luka Dan darah   mengalir diantara tanah-tanah yang rekah Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: Aku mandikan sebilah Mandau Dengan darah Bersama mantra dan doa Untuk menjawab pertanyaan mu Duhai mereka yang akan menjadi bangkai berikut nya Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: Tempat mu berjumpa dengan kematian Darah mu akan tumpah mengalir di antara akar-akar pepohonan Tubuh mu akan menanting mangkuk berisikan darah dan air mata Di punggung bumi belulang moyang kami berkubur: “Wanang aliku darah dika Wanang aliku sumangat dika” Oooo “Ku ilayakan sabilah Mandau sakilan tumatan gulu andika Ku susup dara...