Langsung ke konten utama

Sumpah Dalam Balada
Di ujung tempat pertapaan ku
dimana air itu mengalir
membersihkan setiap peluh dan lumut pada tubuh
menceritakan setiap balada moyangku

Di atas tanah saat padi-padi mulai menguning
tumbuhlah hikayat dengan tombaknya masih menancap di atas batu
mengingatkan setiap warisan yang tersimpan diatas tanah asal ku

Jika tempat tanah moyangku mengalirkan air mata
pohon dan ranting memuntahkan darah
enggang yang mati menjadi tangis bagi laung melingkar di kepala

Maka ku tumpahkan setiap mantra
dari air ke tanah, langit ke bumi, damak ke tombak
hingga hiruplah setiap wisa yang mengalir kedarah mu

Jika bumi yang kau pijak selalu kau ludahi
air yang mengalir sengaja kau racuni
wajah dari moyang ku sengaja kau sayat
membekas setiap luka dirasakan pedihnya oleh anak-anak diujung desa

Maka haram bagi ku membiarkan sebilah mandau
masih melingkar di higa pinggang!



setajam_pena Batulicin 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

  Siul enggang Waja sampai kaputing ucapmu: dalam dekapan malam di topang kilatan cahaya bersayapkan ranting dan daun berwajah adat dan budaya Hidup dalam kehidupan berkedip untuk menghidupkan Jika pohon dan ranting jatuh di hempas angin daun tak lagi hijau, kumbang memilih mati dan burung yang terbang tak kembali pulang angka-angka berserakan Tempat menghadap Tuhan akan sepi bayi tak lagi mampu menghadap matahari tawa bersembunyi dalam lengkingan sunyi tubuh bergelempangan berenang dengan darah, di sudut jalan tanpa kafan Yaa apang yaa umang salammu kepada gagak suaramu di dalam selusup kayu pepatahmu mematah asa dimana kau berpijak di situ langit kau junjung Amarahmu di dalam kening bumi senyummu di dalam dekapan cakrawala tangismu bersembunyi di dalam tangisku diammu bersemayam bersama setiap nafasku Yaa apang ya umang acungkan sebilah mandau dalam laju punggung angin amarahku adalah amarahmu lukaku...
Jum'at kelabu Malam yang menyala tanah-tanah murka menumbuhkan anarki bising balai perundingan sorak-sorai menjadi tangis bagi murai yang tersesat dalam sarangnya sendiri Mereka melangkah dengan sejuta dendam melukis luka, meluapkan amarah tanpa sadar yang mereka bakar adalah batang tubuh yang nantinya akan menjadi air mata dalam surat kabar usang di emperan jalan Dalam tidurpun anak-anak hingga balita takut untuk bermimpi padi-padi dari harapan petani menjadi bayang-bayang kesedihan dalam sudut manapun kita sudah menjadi rumpun-rumpun jerami yang rapuh Malam ku menjelma menjadi duka tatkala senja menjadi merah menyala memuntahkan asap-asap dan jerit ibu dengan gaun robek yang berusaha keluar dari dapur pertapaan Menang mu menjadi abu               Kalah mu menjadi abu                          Benar mu menjadi abu     ...
Tersenyum Di atas sebatang kayu mahkota nenek moyang ku di dasar batu-batu yang terukir peradaban di dalam belaian dahan-dahan yang menjadi saksi antara aku dan engkau Ku lukis keresahan ku di atas langit malam tanpa bintang tatapan bulan tanpa pernah berkedip serta ilalang yang tak pernah mengeluh maupun terus di hempas angin Aku kabarkan kembali kepadaku kepada jiwa yang hampir mati kepada rasa yang tak lagi mampu meraba kepada nafas yang tak lagi mampu di rasa kepada jantung yang tak lagi mampu bernada Aku ungkapkan kekesalanku di atas padang yang gersang kepada keindahan yang tak nyata kepada senyum yang pandai bersandiwara kepada hidup tanpa cinta @setajam_pena, puncak manjay 13 oktober 2019