Langsung ke konten utama

dia adalah ibu dari semua makhluk


Menafsirkan kelabu
Burung-burung kian menabur duka
sebatang pohon luruh menafsirkan peradaban
batangnya yang rapuh mengukir kelabu
akar-akar menyesak setiap dahak berbisik bersama sendu

Hujan sampaikan duka bersama kumbang dalam kumpulan asap yang pekat
terdengar bisikan bara sedang berfoya bersama api
deru abu menerbangkan senyum dan membusuk diudara

Entah apa yang dia hirup pagi ini
hanya serpihan tawa melebur menyisakan lara
debu menyeru ditanah yang gersang dengan seonggok nyawa menanam pengharapan

Tidak ada lagi rimbun yang angun
memanjakan pandangan hanya riuh bertandang bergumam suram
sentuhan di setiap jari-jari mengalirkan luka menjamah wajah yang usang

Angin turut menyapu dinding-dinding keheningan
terperanjat rintik hujan membawa kilatan pedang menhujam detik waktu yang terkulai di urat peradaban
dia melintas bersiul penuh kesedihan, tanah-tanah rekah mengalirkan air mata di balik bayang nirvana

Sedang aku hanya menjadi bangkai yang hidup di antara selah-selah pengharapan
menjadi saksi dari tirani, memandang akar batang sedang mengais sisa tangis 
hingga kala itu, nyanyian terakhirmu menjadi fatwa yang hilang begitu saja 


@setajam_pena, Banjarmasin, 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senyum gadis manis Mencintai hutan meratus: Adalah meminang gadis manis Bersayap dalam rangkulan wajah alam Memandang rambut nya yang terjurai Menyibak kabut dari kedua mata nya Mencintai hutan meratus: Adalah engkau yang bahagia dalam puncak nya Duduk di atas singgahsana dengan jubah dan mahkota Mencintai hutan meratus: Adalah aku yang terus menari Di atas lembab nya kulit mu Terbuai dengan nyanyian alam yang semakin terasa Dan ketukan jantung ku akan semakin bernada Mencintai hutan meratus: Adalah sepasang merpati Yang berteduh di bawah pepohonan Setelah kedua sayapnya bercumbu dengan hujan Mencintai hutan meratus: Adalah dia seorang ibu Yang selalu merangkul anak nya Mengayun dalam setiap tidur mu Menyuguhkan kehangatan dalam setiap dingin mu   Lalu kita bagai gerombolan burung pipit Yang terbang, menari menembus langit Dan memandang gadis itu, mengukir peradaban @setajam_pena (Banjarmasin 17 juli 2019)
Tersenyum Di atas sebatang kayu mahkota nenek moyang ku di dasar batu-batu yang terukir peradaban di dalam belaian dahan-dahan yang menjadi saksi antara aku dan engkau Ku lukis keresahan ku di atas langit malam tanpa bintang tatapan bulan tanpa pernah berkedip serta ilalang yang tak pernah mengeluh maupun terus di hempas angin Aku kabarkan kembali kepadaku kepada jiwa yang hampir mati kepada rasa yang tak lagi mampu meraba kepada nafas yang tak lagi mampu di rasa kepada jantung yang tak lagi mampu bernada Aku ungkapkan kekesalanku di atas padang yang gersang kepada keindahan yang tak nyata kepada senyum yang pandai bersandiwara kepada hidup tanpa cinta @setajam_pena, puncak manjay 13 oktober 2019
Sumpah Dalam Balada Di ujung tempat pertapaan ku dimana air itu mengalir membersihkan setiap peluh dan lumut pada tubuh menceritakan setiap balada moyangku Di atas tanah saat padi-padi mulai menguning tumbuhlah hikayat dengan tombaknya masih menancap di atas batu mengingatkan setiap warisan yang tersimpan diatas tanah asal ku Jika tempat tanah moyangku mengalirkan air mata pohon dan ranting memuntahkan darah enggang yang mati menjadi tangis bagi laung melingkar di kepala Maka ku tumpahkan setiap mantra dari air ke tanah, langit ke bumi, damak ke tombak hingga hiruplah setiap wisa yang mengalir kedarah mu Jika bumi yang kau pijak selalu kau ludahi air yang mengalir sengaja kau racuni wajah dari moyang ku sengaja kau sayat membekas setiap luka dirasakan pedihnya oleh anak-anak diujung desa Maka haram bagi ku membiarkan sebilah mandau masih melingkar di higa pinggang! setajam_pena Batulicin 2019