Langsung ke konten utama



pelor pertama

Ku lihat kita semakin merunduk
di bawah selangkangan nya
tak kuasa menahan haus menelan ludah
menjilati peluh keringat seperti binatang

Jika dia bilang cepat!
kita datang dengan sempoyongan
mengangguk seperti kacung
di pecut, di tendang di siram dengan air kencing nya
bekerja siang dan malam hanya merebutkan garam

Yang lebih menyakitkan lagi:
kita semakin di perah seperti sapi
di atas punggung tanah kita sendiri
kita seperti buih di permukaan laut
terombang-ambing lalu mati

Jika batu dan bambu di beri mata dan mulut
maka dia akan menangis sekeras mungkin
gembala akan bingung
saat hewan ternak nya lari ketakutan
sebab hidup di dunia bakseperti berjalan menuju neraka


Seorang kake menangis dalam sekarat nya
badan nya sangat kurus
tetapi masih dia acung kan tangan nya tinggi-tinggi

“Suatu saat  akan adaa cucu ku, yang akan mengawali kata perlawan
dan dia akan berkata sambil menancapkan tombak nya
dalam punggung bumi":

“Siapa kah mereka yang melukai negri ku
maka aku akan jadi tameng nya
dan akan aku selip kan dalam tekat ku
hingga titik darah penghabisan”

@setajam_pena (banjarmasin 8 juli 2019)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tersenyum Di atas sebatang kayu mahkota nenek moyang ku di dasar batu-batu yang terukir peradaban di dalam belaian dahan-dahan yang menjadi saksi antara aku dan engkau Ku lukis keresahan ku di atas langit malam tanpa bintang tatapan bulan tanpa pernah berkedip serta ilalang yang tak pernah mengeluh maupun terus di hempas angin Aku kabarkan kembali kepadaku kepada jiwa yang hampir mati kepada rasa yang tak lagi mampu meraba kepada nafas yang tak lagi mampu di rasa kepada jantung yang tak lagi mampu bernada Aku ungkapkan kekesalanku di atas padang yang gersang kepada keindahan yang tak nyata kepada senyum yang pandai bersandiwara kepada hidup tanpa cinta @setajam_pena, puncak manjay 13 oktober 2019
Sumpah Dalam Balada Di ujung tempat pertapaan ku dimana air itu mengalir membersihkan setiap peluh dan lumut pada tubuh menceritakan setiap balada moyangku Di atas tanah saat padi-padi mulai menguning tumbuhlah hikayat dengan tombaknya masih menancap di atas batu mengingatkan setiap warisan yang tersimpan diatas tanah asal ku Jika tempat tanah moyangku mengalirkan air mata pohon dan ranting memuntahkan darah enggang yang mati menjadi tangis bagi laung melingkar di kepala Maka ku tumpahkan setiap mantra dari air ke tanah, langit ke bumi, damak ke tombak hingga hiruplah setiap wisa yang mengalir kedarah mu Jika bumi yang kau pijak selalu kau ludahi air yang mengalir sengaja kau racuni wajah dari moyang ku sengaja kau sayat membekas setiap luka dirasakan pedihnya oleh anak-anak diujung desa Maka haram bagi ku membiarkan sebilah mandau masih melingkar di higa pinggang! setajam_pena Batulicin 2019
  Siul enggang Waja sampai kaputing ucapmu: dalam dekapan malam di topang kilatan cahaya bersayapkan ranting dan daun berwajah adat dan budaya Hidup dalam kehidupan berkedip untuk menghidupkan Jika pohon dan ranting jatuh di hempas angin daun tak lagi hijau, kumbang memilih mati dan burung yang terbang tak kembali pulang angka-angka berserakan Tempat menghadap Tuhan akan sepi bayi tak lagi mampu menghadap matahari tawa bersembunyi dalam lengkingan sunyi tubuh bergelempangan berenang dengan darah, di sudut jalan tanpa kafan Yaa apang yaa umang salammu kepada gagak suaramu di dalam selusup kayu pepatahmu mematah asa dimana kau berpijak di situ langit kau junjung Amarahmu di dalam kening bumi senyummu di dalam dekapan cakrawala tangismu bersembunyi di dalam tangisku diammu bersemayam bersama setiap nafasku Yaa apang ya umang acungkan sebilah mandau dalam laju punggung angin amarahku adalah amarahmu lukaku...